Pendahuluan
Desentisasi
yaitu suatu cara untuk mengurangi rasa takut atau cemas seorang anak dengan
jalan memberikan rangsangan yang membuatnya takut atau cemas sedikit demi
sedikit rangsangan tersebut diberikan terus, sampai anak tidak takut atau cemas
lagi.1
Prosedur
treatment ini dilandasi oleh prinsip belajar counterconditioning, yaitu respon
yang tidak diinginkan digantikan dengan tingkah laku yang diinginkan sebagai
hasil latihan yang berulang-ulang. Teknis desentisisasi ini sangat efektif
untuk menghilangkan rasa takut atau fobia.
Prinsip
macam terapi ini adalah memasukan suatu respon yang bertentangan dengan
kecemasan yaitu relaksasi. Pertama-tama subyek dilatih untuk relaksasi dalam,
salah satu caranya misalnya secara progresif merelaksasi berbagai otot, mulai
dari otot kaki, pergelangan kaki, kemudian keseluruhan tubuh, leher dan wajah.
Pada
tahap selanjutnya ahli terapi membentuk hirarki situasi yang menimbulkan
kecemasan pada subyek dari situasi yang menghasilkan kecemasan paling kecil
sampai situasi yang paling menakutkan. Setelah itu subyek diminta relaks sambil
mengalami atau membayangkan tiap situasi dalam hirarki yang dimulai dari
situasi yang paling kecil menimbulkan kecemasan.3
Desentisisasi adalah salah satu tehnik yang paling luas di
gunakan dalam terapi tingkah laku. Desentisisasi sistematik di gunakan untuk
menghapus tingkah laku yng di perkuat secara negatif, dan ia menyertakan
pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang
hendak di hapuskan itu. Dengan pengkondisian klasik, respon- respon yang tidak
di kehendaki dapat di hilangkan secara bertahap.
DESENSITISASI
PADA ANAK PENAKUT
Sering kita mendengar seorang ibu yang sedang memarahi
anaknya dengan ucapan, “Kalau kamu masih nakal terus, ibu bawa kamu ke dokter
biar disuntik!” atau “Jangan bandel ya, kalau tidak ibu bawa kamu ke dokter
gigi biar di bor giginya!”
Rasa takut merupakan suatu mekanisme perlindungan diri
dan bukan merupakan gejala abnormal, karena secara naluriah seorang anak merasa
takut terhadap sesuatu yang asing baginya. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan dan pengertian juga kepercayaan yang kurang terhadap dirinya
sendiri serta anak sering memutarbalikkan dan membesar-besarkan kenyataan,
sehingga ia melihat bentuk-bentuk bahaya yang sebenarnya tidak ada.
Contoh kasus rasa takut anak terhadap kunjungan ke dokter
gigi terbagi dalam 2 kategori, yakni :
1. Rasa takut yang obyektif.Seorang anak
yang mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan pada saat kunjungan
pertamanya ke dokter gigi akan merasa takut pada kunjungan yang kedua kalinya
dan juga dia akan merasa takut terhadap orang yang berpakaian putih-putih yang
biasanya dikenakan oleh petugas kesehatan.
2. Rasa takut subyektif. Seorang anak
mempunyai perasaan dan sikap terhadap sesuatu yang menimbulkan rasa takut, hal
ini biasanya didapatkan dari pengalaman orang lain yang dekat dengan dirinya
terutama ibunya dan rasa takut ini biasanya lebih sulit dihilangkan karena anak
tidak merasakannya sendiri.
Ada berbagai macam tingkah laku anak terhadap perawatan
giginya. Mungkin akan terjadi satu atau lebih reaksi yang mengakibatkan masalah
menjadi kompleks, reaksi tersebut bisa berupa sikap rendah diri, malu, cemas,
takut, bahkan sikap melawan. Tindakan orangtua yang tepat dan terarah terhadap
anaknya akan sangat membantu berhasilnya suatu perawatan gigi.
Beberapa orangtua tidak menyadari bahwa mereka secara
tidak langsung mempunyai peranan dalam mewujudkan tingkah laku anak, sehingga
anaknya menjadi takut, gelisah, atau segan pergi ke dokter gigi, yaitu :
1.
Orangtua yang sangat memanjakan anak,
semua keinginan anak dikabulkan, akibatnya anak akan sulit untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya. Bila tuntutan anak tidak dipenuhi, anak
menunjukkan sikap yang tidak senang atau marah.
2.
Orangtua yang terlalu dominan terhadap
anak. Akibatnya anak biasanya akan menunjukkan sikap pemalu, penakut, mudah
cemas.
3.
Kekhawatiran orangtua dalam menghadapi
pengobatan gigi, mempengaruhi sikap anak dalam menjalani perawatan giginya.
Pada umumnya kaum ibulah yang mempunyai peranan cukup besar, ibu yang khawatir
mempunyai pengaruh negatif terhadap sang anak.
4.
Secara umum orangtua yang berasal dari
tingkat sosial menengah ke atas cenderung lebih siap dan bekerja sama dalam
menghadapi masalah–masalah perawatan gigi, karena menganggap perawatan gigi
adalah suatu hal yang lumrah.
Di bawah ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
orangtua ketika berencana membawa anaknya ke dokter gigi, yakni :
1. Jangan membawa anak ke dokter gigi
ketika mendekati waktu tidurnya, karena ia akan mengantuk, lekas marah, dan
sukar diatur.
2. Jangan membawa anak ke dokter gigi
ketika anak baru menghadapi pengalaman emosional yang cukup serius, seperti
kelahiran adiknya atau kematian seseorang yang dekat dengannya, karena pada
saat ini anak sukar untuk diajak kooperatif.
3. Informasikan nama panggilan anak kepada
dokter gigi yang merawat, sehingga anak akan merasa lebih akrab dengan sapaan
nama panggilan.
4.
Hindarkan kata-kata yang membuat anak
menjadi takut, misalnya ketika gigi si anak harus di-rontgen, maka kita katakan
rontgen itu sebagai kamera gigi.
Selain faktor orangtua, faktor pergaulan anak dapat
mempengaruhi tingkah laku anak di klinik gigi, yaitu bila teman-temannya
menceritakan hal-hal yang menakutkan, sehingga menimbulkan rasa takut pada si
anak. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya orangtua untuk meyakinkan anak
bahwa semua itu tidak beralasan, dan bawalah anak kita sedini mungkin ke dokter
gigi, sehingga ia merasa biasa dan akrab dengan suasana di tempat praktek
dokter gigi.5
Cara Kerja Desensitisasi
Seorang pasien dibawa kedokter gigi pada usia 5 atau 6
tahun, tetapi ia mencoba melarikan diri. Pada usia 8 tahun, ia menolak perawatan gigi apa pun.
Pada usia 18 tahun 1 giginya ditambal, dan menolak untuk datang
kembali.kemudian, setelah mengalami sakit gigi selama 3 minggu. Akhirnya ia
kedokter gigi yang kemudian merawatnya dibawah anastesi umum. Beberapa giginya
dicabut, serta dilakukan beberapa restorasi. Lebih dari 12 tahun kemudian, ia
kambali menderita sakit gigi beberapa kali, tetapi tidak mau kedokter gigi.
Selama desensitisasi sistemik, pasien harus menjalani 9 kali terapi,
masing-masing kunjungan menghabiskan waktu lebih kurang 1 jam.
Pada kunjungan pertama, dilakukan pemeriksaan riwayat
pasien dan terapi relaksasi. Dalam kunjungan kedua pasien diberikan latihan
relaksasi lanjutan dan diminta untuk menuliskan penyebab hal-hal rasa takut
terhadap resterasi gigi secara berurutan. Rasa takut tersebut diurutkan seperti
terlihat pada tabel 4.2. Situasi pemicu kecemasan terkecil adalah memikirkan
kunjungan ke dokter gigi, sedangkan yang terburuk adalah mendapatkan 2 suntikan,
masing-nasing pada tiap sisi. Urutan lain dibuat untuk tindakan pencabutan
gigi. Dalam kunjungan ketiga terapi relaksasi telah selesai diberikan.
Keenam kunjungan berikutnya dimaksudkan untuk
mengkombinasikan relaksasi dengan urutan yang telah dibuat. Pada desensitisasi
sistematik, hal ini dilakukan dengan meminta pasien tetap tenang. Kemudian
pasien diminta membayangkan situasi yang dianggap menakutkan, dimulai dari yang
paling sedikit menimbulkan rasa takut. Bila ia meresa cemas,operator mengistruksikan
pasien untuk berhenti memikirkan situasi tersebut dan berkonsentrasi kembali
pada relaksasi. Dengan mengkombinasikan relaksasi dan imajinasi pasien, situasi
tersebut mulai dirasakan tidak memicu kecemasan. Jka pasien sudah dapat
membayangkan situasi yang paling sedikit menimbulkan rasa takut tanpa menjadi
cemas, ia dapat beralih kesituasi berikutnya dari urutan tersebut. Ini diulang
sampai pasien dapat membayangkan situasi yang paling menakutkan tanpa menjadi
cemas.
Desensitisasi sistematik amat berhasil pada pasien ini
sebelum kunjungan kesembilan, ia sudah membuat perjanjian dan menepati
perjanjian kunjungan tersebut. Setelah ini, semua perawat gigi yang perlu
dituntaskan, dan pasien ternyata merasa ”relaks”.2
Prosedur treatment ini dilandasi oleh prinsip belajar
counterconditioning, yaitu respon yang tidak diinginkan digantikan dengan
tingkah laku yang diinginkan sebagai hasil latihan yang berulang-ulang. Teknis
desentisisasi ini sangat efektif untuk menghilangkan rasa takut atau fobia.
Selain faktor orangtua, faktor pergaulan anak dapat
mempengaruhi tingkah laku anak di klinik gigi, yaitu bila teman-temannya
menceritakan hal-hal yang menakutkan, sehingga menimbulkan rasa takut pada si
anak. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya orangtua untuk meyakinkan anak
bahwa semua itu tidak beralasan, dan bawalah anak kita sedini mungkin ke dokter
gigi, sehingga ia merasa biasa dan akrab dengan suasana di tempat praktek
dokter gigi.5 Dalam proses perkembangan anak yang masih belum meniliki kecemasan
atau fobia yang permanen karena belum terlalu mengerti tentang ke dokter gigi.
Kesimpulan
Penggunaan teknik
desensitisasi efektif digunakan pada anak yang memiliki trauma psikologis pergi
ke dokter gigi. Desensitisasi efektif digunakan bagi pasien anak yang tidak
bisa mengkonsumsi obat anastesi. Pasien anak dapat mengurangi kecemasannya
sedikit demi sedikit hingga tidak merasa cemas lagi.
Oleh :
RUTH RIO PURWOSEMBODO
3PA05
16509621