Rabu, 14 Maret 2012

DESENSITISASI


Pendahuluan
Desentisasi yaitu suatu cara untuk mengurangi rasa takut atau cemas seorang anak dengan jalan memberikan rangsangan yang membuatnya takut atau cemas sedikit demi sedikit rangsangan tersebut diberikan terus, sampai anak tidak takut atau cemas lagi.1
Prosedur treatment ini dilandasi oleh prinsip belajar counterconditioning, yaitu respon yang tidak diinginkan digantikan dengan tingkah laku yang diinginkan sebagai hasil latihan yang berulang-ulang. Teknis desentisisasi ini sangat efektif untuk menghilangkan rasa takut atau fobia.
Prinsip macam terapi ini adalah memasukan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan yaitu relaksasi. Pertama-tama subyek dilatih untuk relaksasi dalam, salah satu caranya misalnya secara progresif merelaksasi berbagai otot, mulai dari otot kaki, pergelangan kaki, kemudian keseluruhan tubuh, leher dan wajah.
Pada tahap selanjutnya ahli terapi membentuk hirarki situasi yang menimbulkan kecemasan pada subyek dari situasi yang menghasilkan kecemasan paling kecil sampai situasi yang paling menakutkan. Setelah itu subyek diminta relaks sambil mengalami atau membayangkan tiap situasi dalam hirarki yang dimulai dari situasi yang paling kecil menimbulkan kecemasan.3
Desentisisasi  adalah salah satu tehnik yang paling luas di gunakan dalam terapi tingkah laku. Desentisisasi sistematik di gunakan untuk menghapus tingkah laku yng di perkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak di hapuskan itu. Dengan pengkondisian klasik, respon- respon yang tidak di kehendaki dapat di hilangkan secara bertahap.

DESENSITISASI PADA ANAK PENAKUT
            Sering kita mendengar seorang ibu yang sedang memarahi anaknya dengan ucapan, “Kalau kamu masih nakal terus, ibu bawa kamu ke dokter biar disuntik!” atau “Jangan bandel ya, kalau tidak ibu bawa kamu ke dokter gigi biar di bor giginya!”
            Rasa takut merupakan suatu mekanisme perlindungan diri dan bukan merupakan gejala abnormal, karena secara naluriah seorang anak merasa takut terhadap sesuatu yang asing baginya. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pengertian juga kepercayaan yang kurang terhadap dirinya sendiri serta anak sering memutarbalikkan dan membesar-besarkan kenyataan, sehingga ia melihat bentuk-bentuk bahaya yang sebenarnya tidak ada.
           
Contoh kasus rasa takut anak terhadap kunjungan ke dokter gigi terbagi dalam 2 kategori, yakni :
1.    Rasa takut yang obyektif.Seorang anak yang mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan pada saat kunjungan pertamanya ke dokter gigi akan merasa takut pada kunjungan yang kedua kalinya dan juga dia akan merasa takut terhadap orang yang berpakaian putih-putih yang biasanya dikenakan oleh petugas kesehatan.

2.    Rasa takut subyektif. Seorang anak mempunyai perasaan dan sikap terhadap sesuatu yang menimbulkan rasa takut, hal ini biasanya didapatkan dari pengalaman orang lain yang dekat dengan dirinya terutama ibunya dan rasa takut ini biasanya lebih sulit dihilangkan karena anak tidak merasakannya sendiri.
           
              Ada berbagai macam tingkah laku anak terhadap perawatan giginya. Mungkin akan terjadi satu atau lebih reaksi yang mengakibatkan masalah menjadi kompleks, reaksi tersebut bisa berupa sikap rendah diri, malu, cemas, takut, bahkan sikap melawan. Tindakan orangtua yang tepat dan terarah terhadap anaknya akan sangat membantu berhasilnya suatu perawatan gigi.
           
            Beberapa orangtua tidak menyadari bahwa mereka secara tidak langsung mempunyai peranan dalam mewujudkan tingkah laku anak, sehingga anaknya menjadi takut, gelisah, atau segan pergi ke dokter gigi, yaitu :

1.      Orangtua yang sangat memanjakan anak, semua keinginan anak dikabulkan, akibatnya anak akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Bila tuntutan anak tidak dipenuhi, anak menunjukkan sikap yang tidak senang atau marah.

2.      Orangtua yang terlalu dominan terhadap anak. Akibatnya anak biasanya akan menunjukkan sikap pemalu, penakut, mudah cemas.


3.      Kekhawatiran orangtua dalam menghadapi pengobatan gigi, mempengaruhi sikap anak dalam menjalani perawatan giginya. Pada umumnya kaum ibulah yang mempunyai peranan cukup besar, ibu yang khawatir mempunyai pengaruh negatif terhadap sang anak.

4.      Secara umum orangtua yang berasal dari tingkat sosial menengah ke atas cenderung lebih siap dan bekerja sama dalam menghadapi masalah–masalah perawatan gigi, karena menganggap perawatan gigi adalah suatu hal yang lumrah.



            Di bawah ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orangtua ketika berencana membawa anaknya ke dokter gigi, yakni :
1.    Jangan membawa anak ke dokter gigi ketika mendekati waktu tidurnya, karena ia akan mengantuk, lekas marah, dan sukar diatur.
2.   Jangan membawa anak ke dokter gigi ketika anak baru menghadapi pengalaman emosional yang cukup serius, seperti kelahiran adiknya atau kematian seseorang yang dekat dengannya, karena pada saat ini anak sukar untuk diajak kooperatif.
3.    Informasikan nama panggilan anak kepada dokter gigi yang merawat, sehingga anak akan merasa lebih akrab dengan sapaan nama panggilan. 
4.      Hindarkan kata-kata yang membuat anak menjadi takut, misalnya ketika gigi si anak harus di-rontgen, maka kita katakan rontgen itu sebagai kamera gigi.
            
         Selain faktor orangtua, faktor pergaulan anak dapat mempengaruhi tingkah laku anak di klinik gigi, yaitu bila teman-temannya menceritakan hal-hal yang menakutkan, sehingga menimbulkan rasa takut pada si anak. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya orangtua untuk meyakinkan anak bahwa semua itu tidak beralasan, dan bawalah anak kita sedini mungkin ke dokter gigi, sehingga ia merasa biasa dan akrab dengan suasana di tempat praktek dokter gigi.5

Cara Kerja Desensitisasi
            Seorang pasien dibawa kedokter gigi pada usia 5 atau 6 tahun, tetapi ia mencoba melarikan diri. Pada usia 8  tahun, ia menolak perawatan gigi apa pun. Pada usia 18 tahun 1 giginya ditambal, dan menolak untuk datang kembali.kemudian, setelah mengalami sakit gigi selama 3 minggu. Akhirnya ia kedokter gigi yang kemudian merawatnya dibawah anastesi umum. Beberapa giginya dicabut, serta dilakukan beberapa restorasi. Lebih dari 12 tahun kemudian, ia kambali menderita sakit gigi beberapa kali, tetapi tidak mau kedokter gigi. Selama desensitisasi sistemik, pasien harus menjalani 9 kali terapi, masing-masing kunjungan menghabiskan waktu lebih kurang 1 jam.
            Pada kunjungan pertama, dilakukan pemeriksaan riwayat pasien dan terapi relaksasi. Dalam kunjungan kedua pasien diberikan latihan relaksasi lanjutan dan diminta untuk menuliskan penyebab hal-hal rasa takut terhadap resterasi gigi secara berurutan. Rasa takut tersebut diurutkan seperti terlihat pada tabel 4.2. Situasi pemicu kecemasan terkecil adalah memikirkan kunjungan ke dokter gigi, sedangkan yang terburuk adalah mendapatkan 2 suntikan, masing-nasing pada tiap sisi. Urutan lain dibuat untuk tindakan pencabutan gigi. Dalam kunjungan ketiga terapi relaksasi telah selesai diberikan.

            Keenam kunjungan berikutnya dimaksudkan untuk mengkombinasikan relaksasi dengan urutan yang telah dibuat. Pada desensitisasi sistematik, hal ini dilakukan dengan meminta pasien tetap tenang. Kemudian pasien diminta membayangkan situasi yang dianggap menakutkan, dimulai dari yang paling sedikit menimbulkan rasa takut. Bila ia meresa cemas,operator mengistruksikan pasien untuk berhenti memikirkan situasi tersebut dan berkonsentrasi kembali pada relaksasi. Dengan mengkombinasikan relaksasi dan imajinasi pasien, situasi tersebut mulai dirasakan tidak memicu kecemasan. Jka pasien sudah dapat membayangkan situasi yang paling sedikit menimbulkan rasa takut tanpa menjadi cemas, ia dapat beralih kesituasi berikutnya dari urutan tersebut. Ini diulang sampai pasien dapat membayangkan situasi yang paling menakutkan tanpa menjadi cemas.
            Desensitisasi sistematik amat berhasil pada pasien ini sebelum kunjungan kesembilan, ia sudah membuat perjanjian dan menepati perjanjian kunjungan tersebut. Setelah ini, semua perawat gigi yang perlu dituntaskan, dan pasien ternyata merasa ”relaks”.2
            Prosedur treatment ini dilandasi oleh prinsip belajar counterconditioning, yaitu respon yang tidak diinginkan digantikan dengan tingkah laku yang diinginkan sebagai hasil latihan yang berulang-ulang. Teknis desentisisasi ini sangat efektif untuk menghilangkan rasa takut atau fobia.
            Selain faktor orangtua, faktor pergaulan anak dapat mempengaruhi tingkah laku anak di klinik gigi, yaitu bila teman-temannya menceritakan hal-hal yang menakutkan, sehingga menimbulkan rasa takut pada si anak. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya orangtua untuk meyakinkan anak bahwa semua itu tidak beralasan, dan bawalah anak kita sedini mungkin ke dokter gigi, sehingga ia merasa biasa dan akrab dengan suasana di tempat praktek dokter gigi.5 Dalam proses perkembangan anak yang masih belum meniliki kecemasan atau fobia yang permanen karena belum terlalu mengerti tentang ke dokter gigi.

Kesimpulan
Penggunaan teknik desensitisasi efektif digunakan pada anak yang memiliki trauma psikologis pergi ke dokter gigi. Desensitisasi efektif digunakan bagi pasien anak yang tidak bisa mengkonsumsi obat anastesi. Pasien anak dapat mengurangi kecemasannya sedikit demi sedikit hingga tidak merasa cemas lagi.



Oleh :
RUTH RIO PURWOSEMBODO
3PA05
16509621